<$BlogRSDUrl$>

Hadiwardoyo

Pakem,Kaliurang, Yogyakarta/Warga Epistoholik Indonesia

Sunday, December 07, 2003

--------------------------------------
Catatan Bambang Haryanto, pengelola Epistoholik Indonesia. Alamat situs EI : http://epsia.blogspot.com / E-mail : epsia@plasa.com

Surat keempat, dikirim oleh Bapak Hadiwardoyo melalui e-mail. Kalau e-mail sebelumnya terkirim atas nama petugas warnet, kini e-mail tersebut sudah atas nama Bapak Hadi sendiri, yaitu hadiwardoyo@yahoo.com. Pak Hadi, sungguh hebat !

Kejutan yang membanggakan.

Cita-cita saya, antara lain agar para pinisepuh dan para epistoholik senior itu nantinya masing-masing memiliki e-mail, ternyata tanpa perlu himbauan atau ajakan, justru sudah dipelopori oleh Bapak Hadiwardoyo.

Mengapa para epistoholik perlu memiliki e-mail ?
Saya berangan-angan, suatu saat kelak melalui forum Epistoholik Indonesia ini para yunior dapat saling berinteraksi atau ngangsu kawruh, pengalaman, wawasan dan kebijakan (wisdom) melalui jalur komunikasi yang murah, cepat dan mendunia, yaitu surat elektronik atau e-mail, dengan para epistoholik senior.

Kejutan kedua, tulisan panjang Bapak Hadiwardoyo di bawah ini mengenai falsafah wayang, bagi saya, mampu membukakan wawasan tentang budaya Jawa. Matur nuwun, Pak Hadi.


(BH-7/12/2003).

---------------------------

From: Hadi Wardoyo
Subject: Menelusuri koleksi wayang...
Date: Thu, 4 Dec 2003 18:52:44 -0800 (PST)
To: epsia@plasa.com


Singkat penting :

1. Tulisan hari ini khusus Falsafah Wayang sampai dengan Orde Reformasi.

2. Jika ada kiriman Fikiran Pembaca dari Ny Sri Supadmi Sudiharjo Banteng Baru

Mohon segera dipajang

TERIMA KASIH


Pengirim
HADIWARDOYO
Purworejo Pakem Sleman YK
http://hwar.blogspot.com

------------------------------


MENELUSURI KOLEKSI WAYANG DI BAWAH LERENG MERAPI

I Kumpulan tulisan tangan ini untuk membaca menelusuri falsafah wayang seperti yang pernah saya tulis di harian :

Kedaulatan Rakyat : Tgl 8-1-1996 dengan judul Kongso Adu Jago, Tgl 11-2-1998 Wayang Tontonan Dan Tuntunan.

BERNAS : Tgl 22-8-2000, judul Hati -Hati Pilih Lakon, Tll 24-5-2002 Semar Boyong, Super Semar dan Tgl 20-1-2003 Filsafah Wayang.

II Dengan membaca tulisan ini marilah para pandemen Budaya Jowo, tidak hanya nguri-nguri tetapi menjadi Pemerhati sukur Mengagumi .

III Tulisan ini sudah masuk jaringan.


FALSAFAH WAYANG PURWO

Saya bukan dalang, juga bukan pengrawit yang serba bisa dalam memainkan musik gamelan, namun demikian karena mulai umur 15 tahun saya sudah mulai cikal bakal musik karawitan bersama-sama para perintis cikal- bakal yang dipimpin pak Marto Sarpa atau Marta ngendong suling saya mulai timbul niat untuk dapat mengikuti jejaknya Pak Marto Sarpo. Sukur Alhamdulilah dapat sejarah sejarah dengan Pak Marto Sarpo antara tahun 1940 sampai dengan tahun 1965.

Sebelum saya mengikuti jejaknya Pak Marto Sarpa, saya juga termasuk pecandu tontonan wayang kulit. Pada jaman sebelum Orla tumbang kekuasaannya, saya belum dapat membedakan mana yang disebut pandemen budoyo Jowo nguri-uri, pemerhati budoyo Jowo, pengagum budoyo, falsafah gamelan, wayang dsb.

Namun sesudah kekuasaan Orla jatuh dan diganti dengan Orba yang menerima Super Semar itu ada kaitannya dengan Lurah Semar dalam pewayangan ?

Dalam hati saya masih diliputi rasa ragu-ragu, mungkin benar, mungkin juga salah. Namun karena mulai tahun 1966 sampai dengan tahun 1996, 30 tahun Pak Harto berkuasa ada tandas yang persis seperti ceritera Ki Dalang, lama-lama saya berani bahwa meskipun saya bukan dalang tetapi karena perasaan seperti saya utarakan lewat KR bulan 12 tahun 1996 dengan judul
Seniman Idealis Sesak Nafas maka saya mulai berani mengutarakan. Tulisan-tulisan yang mengambil nara sumber dari Ki Dalang, itu saja sesudah kekuasaan Orba tumbang pada bulan Mei tahun 1688, namun demikian enam bulan sebelum kekuasaan Orba tumbang, sebetulnya saya sudah memberi sinyal dengan tulisan lewat KR tgl 9-2-1998 dengan judul Wayang Tontonan dan Tuntunan.

Sesudah saya menurunkan tulisan tersebut saya sering nonton TVRI dan setiap nonton saya mulai mengagumi falsafah wayangan lakonnya pasti Semar Babar Jati dan mendekati detik-detik Pak Harto jatuh Pak Harto sumbali dalang-dalang kondang seluruh Jawa terutama dari Yogya Ki Timbul, Ki Hadisugito dan Solo Ki Manteb Sudarsono, Ki Anom Suroto dengan Lakon yang sama yaitu Rama Tambak di hampir semua Stasiun TV seluruh Indonesia sampai akhirnya Pak Harto jatuh dengan menanggung beban psikologis menjadi Satriyo Wirang bahkan wirangnya melebihi Bung Karno, yang di demo KAMI-KAPPI tahun 1965.

Bagi para pandemen seni jawa nguri-uri, jelas tidak ambil pusing membicarakan jatuhnya pak Harto dengan lakon Rama Tambak namun bagi para pemerhati apa lagi yang sudah sampai tataran mengagumi pasti segera dapat mengambil kesimpulan bahwa lakon Rama Tambak menurut falsafah wayang purwo lakon pembuatan jembatan dari Negara Poncowati yang melambangkan kebenaran untuk menghancurkan untuk menghancurkan Rahwono yang Lambang Kejahatan yang sering sesumbar Yo bondoku, yo donyaku, yo penguasaku dll.

Dengan belajar dari wayangan Lakon Rama Tambak sampai dengan lengsernya Pak Harto, saya teringat wejangan Bp. Pinisepuh Pelestari Budaya Jowo Harjobinangun Bp. Martomahargyo yang rajin mengumpulkan koleksi wayang purwo mulai TH 19..., yang memaparkan Lakon Sombo Sebit di Dusun Sambi Pakembinangun bahwa ada salah satu warga dusun tersebut rumah-tanggganya menjadi berantakan karena nanggap wayang dengan Lakon Sombo-Sebit dengan Ki dalang Jayeng-Carito dari Kalibulus, dalang abdi dalem keraton Yogyakarta.


LAKON KONGSO ADU JAGO

Lakon Kongso Adu Jago dalam pagelaran wayang-purwo oleh Ki Dalang jelas tidak sama dengan Lakon manusia2 atau penguasa2 jaman Orba. Pada jaman Orba saya juga sudah berani menyindir para pemimpin yang mengaku wakil-rakyat tetapi nyambi menjadi Kongso adu jago seperti yang saya tulis di harian KR tgl 8-1-1996 dengan judul Kongso Adu Jago.

Pada jaman Orla, jamannya Sri Sultan HB IX , pemilihan pamong desa betul bersih dari permainan KKN Kongso adu jago karena pamong desa yang menang dalam pemilihan berdasarkan Undang2 no 16 TH 1946 dijaring lewat bitingan yang sulit diintimidasi oleh para Kongso2 adu jago seperti jaman Orba yang memanfaatkan UUD No 5 TH 1979 yang melahirkan banyak kongso2 adu jago demi memperdaya para balon2 perdes yang buta budaya dan buta politik.

Para pemerhati budaya jawa pasti dapat membaca jika ada pemilihan pamong menggunakan sistim Gambar Kembang Telon, misalnya NASAKOM, PAT JARI, Pacul, Meja Lemari, Si Jari Kursi Mejo Lemari, SAL SANG GIS ( Salak Pisang Manggis) dsb-dsb. Dari para juru kampanye gambar kembang telon tersebutlah saya mulai berani ngotak-atik ilmu kehebatan para wali dan pujonggo yang melahirkan ramalan Pujonggo jaman Joyoboyo Kediri seperti Empu Tantular jaman Mojopahit sebelum ajaran Islam masuk Indonesia.

Para pembaca yang budiman, ramalan pujonggo, bukan ramalan SDSB, juga bukan ramalan nomer buntut, juga bukan ramalan nasib swargo, neroko di dunia dan di akherat. Jenis-jenis ramalan perjudian dan ramalan dukun-dukun paranormal jelas tidak perlu mempelajari dan merenungkan ilmu Sunan Kalijogo yang dapat menterjemahkan Layang Kalimosodo menjadi Kalimah Sahadat yang mengantar Raja Puntodewo dapat masuk surgo dan sudah barang tentu menterjemahkan layang Kalimo-sodo menjadi Kalimah Sahadat dapat dibaca di halaman seterusnya, sekarang marilah saya mengikuti kembali lanjutan Kongso adu jago yang mengadu domba antara wakil-rakyat A dengan wakil-rakyat B antara pamong desa C dan pamong desa B dst-dst, sehingga dalam hal ini juga saya sindir dengan judul: Adu Domba Awal Datangnya Petaka, KR 12-10-1998, 3 bulan sesudah Pak Harto lengser keprabon.

Kongso Adu Jago TH 1996 , adu domba awal datangnya Petaka betul-betul terjadi nyatanya sesudah Pak Harto Lengser keprabon mulai Th 1998 s/d Th 2002, negara Indonesia justru semakin kacau sehingga saya menyindir lagi namun tidak mengambil nara sumber dari falsafat wayang tetapi dari desa tempat saya lahir yaitu dari: Dsn Purworejo yang merintis seni karawitan cikal-bakal dengan judul Pengatur Skenario dan Akibatnya (PSA), BERNAS tgl 9-8-2002.

Judul PSA tsb bagi yang belum mengagumi falsafah wayang pasti tidak perlu dikaji dengan kalimat lain dengan pengagum falsafah wayang, PSA tidak hanya terjadi didusun Porworejo, bahkan apa yang terjadi Dsn Purworejo dapat diolah menjadi warisan Nasional, misalnya Indonesia Tanah Airku.

Bagi saya jaringan komunikasi penulis surat pembaca yang di prakarsai oleh mas Bambang Haryanto di Jl Kajen Timur 72 Wonogiri Solo jelas merupakan awal bagi siapa saja yang sudah mengagumi falsafah Jawa yang berwawasan Nasional.

Jika pemikiran mas Bambang Haryanto kami kawinkan dengan pemikiran saya seperti berkali-kali saya tulis di (kolom) Pikiran Pembaca yang sekarang sudah dipajang di Pusat Jaringan Komunikasi Penulis Surat Pembaca Se-Indonesia (Epistoholik Indonesia/EI), wajarlah antara saya dan mas Bambang H mulai bergandengan-tangan untuk mempromosikan falsafah Jawa sambil menterjemahkan lagu Indonesia-Raya ciptaan W.R. Supratman.

Tulisan saya memang bernada menyindir Kongso Adu Jago yang gentayangan di Dusun Purworejo, mulai jaman Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud memasung pemikiran Bung Karno dan pendukung-pendukungnya.Sebelum Orba tumbang siapa yang berani melawan Kongso Adu Jago sistem Amir Mahmud jelas tidak ada apalagi saya yang berasal dari dusun cerak watu adoh Ratu.

Tetapi sekarang sesudah saya bergabung dengan Jaringan Komunikasi Penulis Surat Pembaca Se-Indonesia (Epistoholik Indonesia/EI), yang sekarang sebelum para jurkam-jurkam Pemilu 2004 , saya gentayangan di bumi Indonesia, saya berani menyebarluaskan EI ke seluruh penjuru Tanah Air lewat pikiran pembaca yang sudah dipajang di pusat EI untuk melawan para Kongso-kongso Adu Jago di seluruh Indonesia yang memasung pemikir idealis yang akan meluruskan pemikiran pencipta lagu Indonesia Raya.

Bagi saya mas Bambang Haryanto adalah sama dengan sang pencipta lagu Indonesia Raya lewat EI . Meskipun strateginya berbeda-beda karena pada jaman W.R. Supratman semua para perintis kemerdekaan bulat bersatu sulit diperdaya Kongso Adu Jago, namun sekarang jelas tidak mudah menghadapi Kongso-kongso Adu Jago yang gentayangan di hampir semua LEMBAGA kemasyarakatan mulai dari tingkat RT sampai tingkat Nasional.


Antara Buto Cakil dan Kongso Adu Jago

Nguri-uri Seni Jawa belum layak disebut pemerhati budaya Jawa, apalagi pengagum budaya Jawa dalam berulah karawitan terdapat tiga tataramu dalam mendalami Ilmu Karawitan yang disebut patet enem, patet sanga, dan patet manjura dalam musik Jawa. Laras Slendro menurut wewarah Sastro gending ciptaan Sultan Agung Hanjokro Kusuma pendiri kerajaan Mataram.

Sebelum pembaca ingin mendalami falsafah Jawa yang sudah dipajang di pusat JKSI penulis surat pembaca ( situs blog Epistoholik Indonesia, Jaringan Penulis surat Pembaca se-Indonesia. BH) yang dirintis oleh mas Bambang Haryanto Kajen Timur 72 Wonogiri Solo,
apakah hubungan ilmu Slendro Laras Manjuro dengan falsafah Jawa ?.

? Patet enem sama dengan nguri- uri
? Patet songo sama dengan pemerhati
? Patet Manjuro tidak hanya nguri-uri atau pemerhati tetapi sudah sampai pada tataran
mengagumi.


Dengan demikian, apakah hubungannya dengan Mas Bambang Haryanto dengan para pandemen penulis pikiran pembaca seluruh Indonesia ?

Perkenankanlah saya meminjam pidato Bung Karno ; Janganlah Bangsa Indonesia hanya menjadi Bangsa kintel yang menunggu jatuhnya bintang-bintang dari langit, tetapi gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang-bintang di langit dst-dst.

Menulis di KR mulai th 1995, dan th 1945 saya sudah aktif dalam Organisasi Seni Jawa. Dari Organisasi Seni Jawa inilah saya juga mengagumi pidato dan tulisan-tulisan Bung Karno terutama gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang dilangit.

Jika Mas Bambang Haryanto dan para yunior-yunior pendukung pemikiran Mas Bambang H berkenan membaca tulisan-tulisan para pandemen penulis pikiran pembaca termasuk tulisan saya, ini berarti saya sudah membuktikan lewat karya nyata tanpa menunggu jatuhnya bintang di langit, atau dengan bahasa lain pengagum falsafah Jawa pasti dimulai dari gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit.

Berita dari mas Bambang H , adalah suatu berita yang luar biasa, mana ada jaman sekarang yang serba mata duwiten model kapitalis, masih ada yunior-yunior yang punya rasa peduli terhadap pemikiran-pemikiran para perintis di segala bidang kemasyarakatan yang nongol di kolom pikiran pembaca, apalagi jika yang menulis lewat pikiran pembaca tersebut umurnya sudah pikun, seperti saya yang sudah berumur 80 tahun.

Umur 80 tahun adalah umur transisi bisa saja sewaktu waktu saya ditimbali yang Maha Kuasa namun sebelum saya di timbali Yang Maha Kuasa saya beruntung lewat jarigan komunikasi penulis surat pembaca se Indonesia dapat menjembatani pemikiran dari bawah Lereng Merapi yang pernah nongol di BERNAS tgl 27-7-2000 dan judul tersebut malah menjadi sampul tetap lewat buku tulisan kami tahun 2003 dengan judul. Akal Melawan Akal- Akalan Misteri Merapi.

Jika tulisan ini sudah sampai ditangan mas Bambang. H berarti saya sudah dapat menjembatani para pengagum falsafah Jawa yang berwawasan. Indonesia lewat jalur segi lima antara lain mbah Marijan, atau KRT Suraksa Hargo Gunung Merapi, Bp R. Martomahargyo pengagum koleksi Wayang purwo mulai tahun 27, Bapak Mardi Wiharjo Ketua Paguyuban Pelestari Budaya Jawa dibawah Lereng Merapi untuk wilayah Yogya utara dengan jaringan komunikasi penulis- pembaca se Indonesia dibawah binaan mas Bambang Haryanto dari Wonogiri yang dekat dengan Waduk Gajah Mungkur dari aliran Bengawan Solo riwayatmu ini.

Yogya Utara Merapi Lambang pemikiran generasi senior, sedang Wonogiri Solo selatan Lambang pemikiran dari generasi yunior yang ingin menyambung ilmunya generasi tua tetapi sejarahnya tidak lepas dari sejarah Mataram kuno silakanlah baca buku Akal melawan Akal-akalan halaman 44 dengan lagu Bengawan Solo ciptaan komponis Gesang yang sangat masyhur itu.

Tulisan mata air baik pun dari Umbul Manten dan mata air dari bengawan solo yang asalnya dari Gunung Merapi memang agak panjang apalagi jika mengambil nara sumber dari Empu Permadi sejarah wayang Purwo dari Gunung Jamurdipo, namun saya tidak menguasai ilmu ini selain mbah Marijan KRT. Suraksa Hargi, maka para yunior yunior pemerhati tulisan saya, marilah mumpung masih muda bagaimana caranya menangkal bila perlawanan buto-buto cakil di seluruh pelosok tanah air Indonesia.

Berwaspadalah terhadap jurus ramal ilmu Jawa yang ngawur, carilah para pemerhati falsafah Jawa serendahnya sekaliber mas Bambang Haryanto yang sudah menguasai ilmu sampai dengan idenya yang cermelang asal sudah sampai pada tatanan patet manjura dalam ulah seni kerawitan dan pedalangan.

Buto Cakil yang memasung idealisnya para Pemerhati falsafah Jawa, buto cakil - buto cakil yang menjadi menjadi anteknya kongso adu jago yang menjadi anteknya kongso adu jago yang dibotohi yo bondoku, yo donyoku, yo penguasaku yang berpusat di markas besar zionis yahudi Israel yang rajin mengadu domba antara penganut mengadu domba antara penganut agama Islam religius dan penganut Islam abangan, silakan baca buku kumpulan kliping, pada surat pembaca berjudul ?Parpol Islam?, hal . 36-37, tulisan Hd.Wardoyo.

Buto cakil anteknya kongso adu jago itu mulai nongol sesudah patet 9, pada saat sang Harjuna baru keluar dari pertapaan Bengawan Abiyoso, dan dalam perjalananya ditengah hutan dihadang buto cakil anteknya Kongso adu jago.

Dalam ceritra Minakjinggo Damarwulan saya tetap ingat tembang Dandanggulo yang layak menjadi bahan cakil Kongso adu jago yang antara lain berbunyi sebagai berikut. Kang biso mbengkas karya, bocah soko gunung, dst-dst.

Mengagumi falsafah sejarah MinakJinggo Damarwulan dan juga mengagumi salah satu warga dibawah Lereng Merapi dan juga merasa hidup dari mata air dibawah Umbul manten Kali Kuning (Laku sing wening) dan rajin mengoleksi wayang kulit padahal bukan dalang, meskipun baru perkiraan, tetapi mungkin dapat menterjemahkan apa arti kang biso mbengkas karyo bocah soko gunung.

Apa yang saya tulis ini memang wingit, tidak sembarang orang gegabah menterjemahkan kang bisa mbengkas karyo, bocah soko gunung sebab salah dalam menterjemahkan bisa berakibat fatal seperti Begawan Wisrowo dalam lakon Sastro Jendra Hayuningrat Pangruwatin Diyu .

Sebetulnya saya belum berani mengutarakan bahasa sinandi kang biso mbengkas karyo, namun dengan lahirnya jaringan komunikasi penulis surat pembaca se-Indonesia yang sudah berani mendokumentasi penulis-penulis surat pembaca se-Indonesia yang di prakarsai mas Bambang Haryanto, saya teringat tembang Sinom Wedatama yang berbunyi :

Kang wus waspodo ing Patrap Magayut Ayat Winosis. Wasono wosing jiwanggo, Melok Tanpo along-aling. Kang ngalangi kalingling, Wenganing roso tumla wung, Keksi saliring jaman, Angelangut tanpa tepi, Iku janma, ntuk nugraha Hywang Wiseso.

Bagi yang sudah penggautan menjadi buto cakil Kongso adu jago, yo bondoku yo donyaku, yo penguasaku melik nggendong lali ngemut legining gulo jowo, tidak ada gunanya menulis Kang biso mbengkas karyo, sebab, jenis-jenis oknum butocakil kongso adu jago itu tugasnya memang mengintimidasi, mendemo, memfitnah, menyegal dan memasung dan mematikan pemikir idealis yang dapat mbengkas karyo.

Bocah soko gunung sekarang harus mulai tanggap apa yang akan terjadi sebelum pemilu tahun 2004, terutama bocah soko Gunung yang mati hidupnya tidak lepas dari keberadaan bumi dan air (Pasal 32 UUD 45) dari bawah Lereng Merapi.

Dalam perang Buto-Cakil dan Bambangan Satriyo bagus oleh Ki Dalang diuraikan dengan bahasa kiasan' Ngetutake Lakune Sikil Budining Pengangen' artinya Mengumpulkan koleksi Wayang kulit, juga ngetutake lakuning sikil budining pengangen, menulis dikoran juga ngetutake lakuning sikil budining pengangen dan seterusnya. Mas Bambang Haryanto mendokumentasikan penulis-penulis pembaca se-Indonesia itu juga termasuk ngetutake lakuning sikil budining pengangen-angen.

Budining pengangen-angen dari Yogya Utara dan dari Wonogiri Solo Selatan sudah tumbu oleh tutup, bagi saya kemampuannya hanya dapat menjembatani, namun demikian meskipun hanya menjembatani tetapi tanggung jawabnya juga tidak ringan, artinya jika saya mundur yang menang Buto-Cakil yang dibotohi Kongso Adu Jago, jika maju meskipun menang melawan Buto-Cakil namun menghadapi Kongso Adu Jago yang didekengi yo bondoku, yo donyaku, yo penguasaku jelas tidak ringan kecuali ada mukjizat dari Hyang Widhi.

Nglurug tanpo bolo, Sugih tanpo bondho, Menang ora ngasorake =
Surodiro Jayaningrat - Lebur Dening Pangastuti.


Setyaki Sesumbar Biso Rumongso

Lakon Burisrowo gugur atau sering disebut Lakon Bharatayudo timpalan, menurut ceritra Ki Dalang adalah bukan jasanya Raden Haryo Setyaki yang sering mendapat gelar banteng Dworowati sebelum perang Barotoyudo Joyobinangun.

Untuk menterjemahkan judul tulisan Setyaki Sesumbar biso Rumongso jelas tidak lepas dari Bp. R. Martomahargyo pengagum koleksi wayang dan mas Bambang Haryanto pemerhati mungkin juga pengagum penulis-penulis pikiran pembaca dan tentunya juga pemerhati penulis pikiran pembaca seri wayang yang dapat mengolah menjadi bacaan yang indah apakah hubungannya
R. Haryo Setyaki sampai mengakui kesalahannya menjadi biso rumongso, dalam perang melawan Burisrowo menurut ceritra Ki Dalang Haryo Satyaki pasti diberi gelar banteng Dworowati karena pasti dapat mengalahkan Burisrowo dan semua barisan kurowo.

Namun diluar dugaan, sesudah perang Barotoyudho dengan lakon timpalan ternyata Haryo Styaki tidak berdaya menghadapi Burisrowo dan tanpa dibantu botoh Pendowo Sri Batara Kresno dengan strategi yang jitu kerja sama dengan Harjuno akhirnya bahu Burisrowo timpal sampai dengan ajalnya dan Haryo Styaki tanpa mawas diri terus sesumbar sebagai Pahlawan perang Barotoyudho sebelum dipermalukan oleh botohnya Sri Batara Kresno. Para pemerhati bacaan falsafah wayang yang terhormat, tulisan ini memang saya alamatkan kepada para pemerhati tulisan saya yang sudah dipajang dipusat Jaringan Komunikasi yang betul-betul pemerhati masalah wayang mulai jaman Orla, Orba dan Orde Reformasi yang masih percaya bahwa ramalan-ramalan para Empu ,Wali, Pujonggo mulai jaman Hindu Kalimosodo sampai dengan Jaman Islam Kalimahsahadad dan Islam Kalimasilo atau Ponco-Silo mungkin akan mulai terkuak, dalam ajaran Wedo-Tomo falsafah jawa disebut Kang Ngalingi Kaliling, Wekasing roso tumawlung, Keksi Seliring Jaman.

Mari kami ajak kembali merenungi Banteng Dworoti, Banteng Orla, Banteng Orba, Banteng Mataram K.G.H. Haryo Purboyo almarhum putera Sultan Agung pada jaman V.O.C yang sumare di dekat Lapangan Udara Adisucipto.

Banteng Orla sebelum Orba berkuasa memang hebat seperti banteng Dworowati Haryo Styaki , namun sesudah Orla jatuh, bentengnya Orla tersebut lantas lupa sejarah, lupa kepada asal, mulanya lupa kepada falsafah wayang Haryo Styaki baikpun berjasa maupun tidak berjasa sesudah jaman Orba, Reformasi merasa maha paling berjasa dalam menumbangkan Orla Th 1965, meskipun sebetulnya hanya mbonceng Mahasiswa KAMI-KAPPI yang dipimpin Akbar-Tanjung, Abdul-Gaffur dan Cosmas Batubara.

Tulisan ini mudah-mudahan dapat dibaca oleh banteng-banteng Orla yang belum dapat menterjemahkan falsafah wayang lakon Burisrowo gugur. Jika setiap banteng Orla tidak perlu malu belajar dari banteng Haryo Styaki , silahkan sesumbar atau ngaku paling berjasa dalam segala bidang, namun harus ingat bahwa Proklamasi 17-8-1945 bukan hanya jasanya KAMMI, KAPPI Banteng Orla yang menepuk dada, poros NASAKOM, poros Tengah dsb-dsb, namun juga jasanya para perintis-perintis kemerdekaan tanpa mengharapkan imbalan jasa, juga bukan penjual jasa, dan tidak mimpi menjadi pahlawan tanpa tanda jasa.

Para pemerhati lakon Burisrowo gugur memperingatkan para wakil rakyat mulai jaman Orla, Orba, Reformasi sampai dengan Presiden Megawati mudah-mudahan segera menyadari ulah Haryo Setyaki yang dengan lapang dada berani mengakui kesalahannya dan akhirnya terus menang, minggat dari palagan Tegal-Kurusetra dan tidak perlu malu mengakui kesalahannya.

Coba jika setiap pemimpin yang merasa ilmunya belum melebihi Sri Batara Kresna segera sadar seperti Haryo Setyaki, jelas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasti jaya, betul-betul menjadi NKRI yang adil makmur gemah ripah Kerto Raharjo. Pemerhati dan pengagum falsafah wayang hanya dapat merenungkan kapan lahirnya pemimpin biso rumongso seperti Haryo Setyaki dan keberatan dipimpin yang bermental Romongso bisa tetapi malah membingungkan.


Bukan Bala Dewa Ilang Gapite

Bima bukan Bolodewo, oleh Ki Dalang Bimo dicritakan Yen kaku keno kinaryo pikulan, Yen Lemes keno kinaryo tali. Lain dengan Bolodewo. Bolodewo adalah figur wayang merasa rumongso bisa grusa-grusu, mudah marah jika gagal, main pukul dulu urusan belakang. Dari watak masing-masing figur wayang purwo inilah saya mengagumi falsafah Jawa lewat falsafah koleksi wayang purwo kagunganipun Bp.R.Martomahargyo.

Jika diantara warga di bawah Lereng Merapi ini ada pengagum wayang purwo berarti juga termasuk pengagum peninggalan-peninggalan sejarah kuno mulai jaman Hindu yang dapat meyakinkan para yunior-yunior generasi muda untuk dapat menyelamatkan warisan nenek moyang peninggalan jaman Hindu.

Bandingkanlah kehebatan wayang purwo dengan wayang gedog, wayang klitik, wayang golek, wayang suluh, wayang sadad, wayang wahyu dan lain-lain. Wayang-wayang yang saya tulis untuk studi banding tersebut selain lekas jenuh tetapi untuk bahan menterjemahkan apa hubungannya wayang Hindu Kalimosodo, Wayang Kalimahsahadat Islam sampai dengan lahirnya Kalimosilo,Poncosilo, Orla, Orba, Reformasi sungguh sangat sulit.

Para perintis-perintis group-group seni Jawa dibawah Lereng Merapi mulai jaman Belanda sampai dengan Jaman Reformasi yang tergila-gila terhadap falsafah gamelan dan falsafah wayang purwo dan dapat menterjemahkan figur-figur setiap wayang seperti judul-judul tulisan didepan pasti tidak rela jika peninggalan-peninggalan sejarah nenek moyang tersebut menjadi wastro lungsed ing sampiran.

Para pendiri Paguyuban Pelestari Budoyo Jowo (PPBJ) Th 1996 , para pendiri Pakem-Budoyo Tahun 2002, pasti tetap ingat sepanjang masa bahwa tanpa mendapat binaan yang mengagumi koleksi wayang, PPBJ HargoBinangun dan Pakem-Budoyo mungkin belum dikenal masyarakat di Yogya Utara.

Dengan lahirnya Jaringan Komunikasi Penulis Surat pembaca Se-Indonesia (Epistoholik Indonesia) yang menghimpun para pemerhati dan penulis fikiran pembaca se-Indonesia jelas merupakan dorongan semangat yang luar biasa untuk menuangkan idealisnya yang sebanyak-banyaknya, terutama bagi para seniman-seniman idealis yang merasa dipasung oleh Kongso Adu Jago mulai jaman Orba, Reformasi, dan seterusnya.

Para pemerhati, terutama para pengagum-pengagum falsafah Jawa di Yogya Utara meskipun sudah berumur di atas 80 tahun, tetapi bukan figur Bolodewo ilang gapite dengan adanya jalinan kerjasama antara para pandemen, pemerhati, pengagum falsafah Yogya Utara dengan Jaringan Komunikasi penulis-penulis pikiran pembaca se-Indonesia yang dipelopori mas Bambang Haryanto Kajen Timur 72 Wonogiri, marilah maju bersama-sama seperti Bismo, Seto, Kumbokarno, Karno tanding, biarpun gugur tetapi gugur meninggalkan:

? Gajah mati ninggal gading
? Macan mati ninggal lulang
? Manusia mati ninggal becik ketitik

Seperti jadah Bu Carik Kaliurang.



Pengirim :
H A D I W A R D O Y O
Purworejo Pakem Sleman YK
http://hwar.blogspot.com
-------------------------------------------------------

Catatan Bambang Haryanto, pengelola Epistoholik Indonesia. Alamat situs EI : http://epsia.blogspot.com / E-mail : epsia@plasa.com


Sungguh menggembirakan hati, pada tanggal 2 Desember 2003 saya menerima surat ketiga dari Bapak Hadiwardoyo. Kali ini sebuah kumpulan kliping berisi surat-surat pembaca beliau, yang beliau tulis antara tahun 1997 sampai tahun 2003. Di dalamnya juga disertakan beberapa kliping artikel yang menjadi referensi atau penguat tulisan surat-surat pembaca Pak Hadi. Subjek tulisan beliau sangat luas dan kaya.

Tidak semua surat pembaca dalam kliping itu ditampilkan di sini, tetapi Anda dapat menyimak subjek-subjek yang menjadi bahan tulisan beliau di bawah ini. Dari topik “Sumber Daya Air dan Kekuasaan” sampai “Mengagumi Manusia Makhluk Sosial” yang merujuk kepada pengabdian luar biasa seorang Suster Teresa di India.

Terima kasih, Bapak Hadi.


(BH-7/12/2003)

---------------

SUMBER DAYA AIR DAN KEKUASAAN
Dimuat di Harian Bernas, 13/8/2003


Pada waktu saya menulis lewat pikiran pembaca dengan judul Umbul Manten dan Sejarah Metaram, kekuasaan Orba masih perkasa. Artinya pada saat itu penguasa Orba dengan senjata kekuasaannya dapat dengan mudah mengatur mat air Umbul Manten di bawah Lereng Merapi menurut kemauan kekusaan Orba yang rencananya hampir 100 % baik mata air dari Umbul Lanang mau pun mata air Umbul Wadon akan dimonopoli oleh Ny Siti Hardiyanti Indra Rukmana anak Presiden Soeharto yang mungkin sudah punya ramalan bahwa kekuasaan Orba pasti langgeng turun-temurun.

Namun ternyata baru satu tahun perencanaan proyek tersebut berjalan, pecahlah reformasi yang digerakkan oleh para mahasiswa dan pada 1998 kekuasaan Pak Harto tumbang pada bulan Mei. Dan sekitar sebulan kemudian timbulah demo yang digerkkan oleh warga di bawah Lereng Merapi Sleman Utara yang antara lain dipimpin oleh Sdr Mulyono dan sekarang menjadi Lurah Desa Hargobinangun yang selalu bersuara vokal dalam memimpin rakyatnya, terutama jika menghadapi penguasa yang berbau Orba termasuk masalah sumber daya air di Sleman Utara.

Tetapi yang namanya kekuasaan,mungkin mulai dari tingkat Dusun/Desa sampai tingkat nasional mungkin tidak jauh berbeda, artinya sebelum berkuasa layak diberi gelar pahlawan Orba menggulingkan Orla, pahlawan reformasi menggulingkan Orba dst.dst, tetapi jika sudah sampai mempertanggungjawabkan soal sumber daya alam dan sumber daya air para petani pemakai air dalam hati sering bertanya : Siapakah yang bertanggung jawab soal sumber daya air ?

Pertanyaan ini kami iutarakan lewat (kolom) BB Bernas karena saya merasa tergerak untyuk menanggapi artikel Bernas yang ditulis oleh Sdr IB Ilham Malik AG tanggal 16/6/2003 dengan judul Privatisasi Air Di Yogyakarta dan di antara tulisannya juga menyebut sumber mata air di Sleman.

Sebagai warga Sleman yang juga pernah mengutarakan lewat harian ini dengan judul Misteri Lereng Merapi (Bernas, 27/7/2000) wajarlah turun urun pendapat dengan harapan agar kekuasaan atau sesudah berkuasa jangan sekali-kali memonopoli sumber daya air tanpa menghiraukan kodrat alam yang tujuannya agar semua mata air yang ada di bawah Lereng Merapi seakan-akan hanya miliknya yang sedang berkuasa.

Menurut penilaian saya dalam masalah mengatur sumber air yang asalnya dari Umbul Manten dari bawah Lereng Merapi yang menjadi urat nadi kehidupan petani di wilayah DIY sebelum Orba berkuasa dengan undang-undang No. 5 Th 79 jauh lebih teratur karena penanggung jawabnya jelas, antara lain : 1. dari Kepala Dinas Pengairan ; 2. Kepala Bagian Kemakmuran atau Ulu-ulu pada jaman penjajahan Belanda, dan 3. Kepala Dukuh dibantu Organisasi Petani Pemakai Air.

Tetapi sesudah Kepala Bagian Kemakmuran berdasarkan Undang-Undang no. 15 Th 46 DIY diganti nama Kaur Pembangunan UU No 5 Th 79 dan dilanjutkan dengan UU No 22 Th 99, sungguh sangat menyedihkan hampir semua bangunan pengairan baik pun bangunan primair, sekunder, tersier di pedesaan dibiarkan terbengkalai.

Semoga tulisan ini mendapat perhatian dari yang berwajib.


Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003

---------------

SEMAR BOYONG, SUPER SEMAR
Dimuat di Harian Bernas, 24/5/2002


Lakon Semar Boyong dengan Ki Dalang kondang Ki Hadi Sugito, di kantor redaksi Bernas Jl. IKIP PGRI Sonosewu Yogyakarta tanggal 20 Mei 2002, adalah perwujudan moral manusia yang berbentuk wayang kulit dari kulit kerbau atau lembu, tetapi karena ki dalang sudah mendapat wahyu Illahi, dapat mempesona para penontonnya mulai awal sampai tanceb kayon.

Semar Boyong bukan Super Semar. Jika Semar Boyong ki dalang mengatur wayang kulit dan bisa menjadi dalang kondang bukan karena mendapat SK dari presiden, menteri, gubernur, bupati, lurah dan sebagainya.

Tetapi Super Semar -dalang wayang manusia dan pengemban Super Semar-- bisa menjadi petinggi Negara, karena mendapat kepercayaan atau SK dari presiden pertama perintis kemerdekaan RI, yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Saya pernah baca koran masuk desa, bahwa saat ini Ki Dalang Manteb Sudarsono sudah mendapat gelar dalang kondang tingkat dunia, karena dianggap mumpuni dapat menerjemahkan arti wayang Jawa yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan sejarah umat manusia di dunia, hebat kan !

Sebetulnya, jika direnungkan secara mendalam, bangsa Indonesia terutama suku Jawa, yang mempunyai jabatan penting di lembaga-lembaga pemerintahan dan bersih dari KKN, ada baiknya jika kebetulan tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan yang sulit, cobalah minta saran kepada para dalang yang sudah kondang seperti Ki Hadi Sugito, Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Manteb Sudarsono, Ki Anom Suroto dan lain-lain.

Bagi saya, mungkin juga para pembaca Bernas yang rajin membaca arti Supersemar dan juga kebetulan nonton Semar Boyong Bernas, pasti dapat menebak siapakah sebetulnya pemimpin yang mendapat wahyu Semar ?



Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003

---------------

KAPAN PERDES MENULIS
Dimuat di Harian Bernas, 13/5/2002


Keluhan seperti yang diutarakan saudara Soedharto Atmojo berjudul Pemilihan Kaur Pemerintahan di rubrik ini (Bebas Bicara, Bernas 4/5/2002) warga Sareyan Karangtalun Imogiri Bantul sebetulnya tidak sendirian.

Bahkan, mungkin hampir setiap desa/kelurahan ada terutama desa-desa yang bengkoknya subur termasuk desa-desa yang sudah berubah menjadi perkotaan. Namun sayang meskipun tulisan-tulisan yang senada dengan tulisan saudara Soedharto Atmojo tersebut sering nongol di Bernas, saya belum pernah menjumpai tulisan-tulisan yang punya iktikad baik agar budaya money politics dapat dikurangi belum pernah ada yang murni dari perdes (perangkat desa).

Sebetulnya, jika dicermati dengan sungguh-sungguh belum tentu setiap balon perangkat desa pasti berani menghambur-hamburkan uang demi mengejar pangkat tanpa memperhitungkan untung ruginya dari segi ketenangan rumah tangga apalagi desa yang minus.

Koran masuk desa sebetulnya sudah menjadi santapan sehari-hari, namun demikian jika ada tulisan-tulisan lewat koran yang menyindir permainan uang dalam setiap ada pemilihan perangkat desa dan para aparat desa hanya bungkam dalam seribu bahasa, baik lewat lisan mau pun tulisan. Ini berarti masih ada pegawai di pedesaan yang malas membaca dan tidak berani mengutarakan pendapatnya lewat koran.

Mungkin di antara bapak-bapak perdes terutama yang sekarang sedang punya gawe pesta pemilihan perangkat desa, cobalah menulis di koran terutama di Bernas demi menjaga nama baik para balon-balon aparat desa yang bersih dari money politics.


Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003

---------

AJARAN KI HAJAR
Dimuat di Harian Bernas, 16/1/2002


Mendidik masyarakat dengan meminjam bahasa Ki Hajar Dewatara, misalnya “Sepi ing pamrih rame ing gawe”, tri darma pendidikan budi pekerti, “Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” dan juga tri pusat pendidikan “mendidik di dalam kelas, mendidik dalam lingkungan keluarga, mendidik di tengah-tengah lingkungan masyarakat”, memang mudah diucapkan, namun mendidik masyarakat pada jamannya Ki Hajar Dewantara jelas tidak sama dengan jaman reformasi mulai jaman Presiden Habibie sampai Presiden Megawati.

Banyak lansia yang sudah nglokro mendidik anak cucu dengan menggunakan system Ki Hajar Dewantara karena gencarnya budaya-budaya luar negeri baik lewat TV, VCD dan tontonan-tontonan yang memamerkan tubuh-tubuh yang aduhai dengan sangat mudah mempengaruhi para muda-mudi yang malas membaca sejarah dan ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara.

Namun demikian tidak semua orang tua patah semangat dalam mendidik generasi muda dan masih aktif menggunakan system Ki Hajar Dewantar, terutama sesudah membaca berita Bernas tanggal 2/1/2003 dengan judul “Ajaran Ki Hajar Dewantara perlu dikembangkan”.

Bagi saya berita tersebut sungguh sangat berguna, karena selain “ dapat menggugah para orangtua yang sudah patah semangat tetapi gemanya pasti sangat luas karena dengan membaca berita tersebut pasti segera timbul niat dan mengajak sesame orangtua, marilah ajaran Ki Hajar Dewantara yang adi luhung digali kembali.


Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003

---------

DALANG SINAMUN SAMUDANA
Dimuat di Harian Bernas,10/1/2002

Saya termasuk pengagum dalang-dalang kondang seperyi Ki Timbul hadiprayitno, Ki Hadisugito Yogyakarta, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, Ki Entus Suksmono Tegal dan Ki Joko edan Semarang, namun dalam hal menyampaikan wewarah dalang ngudal piwulang bagi saya mungkin juga bagi para pengagum, dalang-dalang Yogya dan Solo jauh lebih bijaksana terutama dalam hal memanfaatkan tokoh-tokoh parpol yang sekarang sedang naik pamornya lewat lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif.

Tidak ada dalang yang tidak berpolitik terutama dalang yang sudah kondang, namun demikian untuk dalang-dalang Yogya-Solo seingat saya belum pernah mempromosikan tokoh idolanya secara vulgar. Dalang-dalang Yogya-Solo tetap menggunakan bahasa sinamun ing samudana, sesadon ingadu manis.

Penonton yang jeli sudah dapat membaca bahwa dalang-dalang yang sudah kondang tersebut pasti ada yang menjadi pendukung Pak Amien Rais, Gus Dur, Bu Megawati, Pak Harto dan sebagainya, namun bagi saya dalang harus adil dalam menyampaikan wewarah kepada si penonton karena jika tidak adil ini berarti sang dalang sudah mengganggu kerukunan nasional.

Semoga bebas bicara ini juga ada manfaatnya untuk TVRI Stasiun Yogyakarta yang baru saja menyelenggarakan siaan wayang kulit semalam suntuk pada malam Tahun Baru 2001/2002 dengan lakon Aswatama Landak.


Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003


-----------------

HATI-HATI PILIH LAKON
Dimuat di Harian Bernas, 20/8/2000


Setiap pejabat terutama Kepala Pemerintahan yang mengagumi falsafah Jawa bahwa Pakem Ringgit Purwa selain sebagai tontonan juga tuntunan seperti tajuk Bernas tanggal 14 Agustus 2000 pasti sependapat dengan tajuk tersebut, misalnya jika sebelum Presiden Soeharto lengser keprabon dalam pergelaran wayang dengan lakon Semar Mbabar Jati, mestinya pagelaran berikutnya bukan lakon Rama Tambak, tetapi Rama Nitis, lakon peralihan dari ceritera pedalangan Ramayana Orde Baru ke lakon Pandawa Lima Darah Barata.

Sayang Soeharto belum waskita sehingga dia jatuh dengan tidak hormat, dihujat, dicacimaki, dipermalukan. Adapun Bung Karno meski pun jatuh tetapi jatuh dengan hormat, antara lain

(1) Tidak terlibat KKN,
(2) Anak cucu Bung Karno tidak terlibat dalam masalah KKN,
(3) Puteri Bung Karno masih ada yang kejatuhan “wahyu” menjadi Wakil Presiden.

Tidak semua falsafah wayang purwa ciptaan para pujangga benar 100 %. Namun demikian dengan adanya lakon Rama Tambak sebelum Soeharto lengser keprabon ternyata lakon tersebut betul-betul menjadi lakon senjata makan tuan yang mengakibatkan Presiden Soeharto jatuh dengan tidak hormat oleh gerakan reformasi yang dimotori para mahasiswa dari segala penjuru tanah air.



Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003


--------------

MISTERI LERENG MERAPI
Dimuat di Harian Bernas, 27/7/2000


Adanya berita Ulen Sentalu Disomasi Warga Kaliurang di Bernas/KR tanggal 20-7-2000, saya terusik menulis surat pembaca ini dengan maksud mengingatkan Anda sekalian akan perlunya memperhatikan masalah sejarah dan keajaiban Gunung Merapi. Pariwisata alam sekitar Gunung Plawangan dan Gunung Turgo yang arahnya tidak lepas dari sejarah Metaram antara lain Pesanggrahan Ngeksi Gondo, Tlogo Nirmolo, Tlogo Muncar, Tlogo Putri, Kabul Manten dan Plunjon.

Jika menyusur ke bawah akan menemui tiga terowongan sepanjang sekitar 900 m urat nadi irigasi para petani di bawah lereng Merapi peninggalan almarhum Ki Ponggolo.

Lewat rubrik ini saya perlu menghimbau agar Anda semua tidak mengabaikan petuah Wong Tuwo dan dengan terjadinya sengkolo yang pernah terjadi di dekat Pesanggrahan Ngeksi Gondo, lokasi Pemancingan Cek Dam dekat terowongan Ponggolo dll. Dapat menjadi pelajaran yang berguna.

Dengan terjadinya sengkolo-sengkolo tersebut di atas ada baiknya sebelum melaksanakan kegiatan selain minta ijin kepada penguasa setempat juga amit-amit kepada para pinisepuh di bawah lereng Merapi antara lain :

1. Mbah Maridjan,
2. Bp. Martomahargyo,
3. Bp. Mardiwihardjo.

Karena ketiga beliau tersebut tahu betul tentang rahasia Gunung Merapi dan menguasai sejarah Kaliurang, Hargobinangun, Pakem, Sleman.


Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003

---------------

MENULIS, CARA MENANGKAL STRES
Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 14/11/1998


Membaca keluhan seorang pembaca di Konsultasi kesehatan Jiwa (KR, 8/11/1998) saya punya pendapat. Jika ibu merua Anda itu pensiunan guru SMP dan pernah aktif dalam organisasi kemasyarakatan, jangan cemas.

Bisa diobati dengan cara menulis sesuai kemampuannnya. Biar pun sudah pension dan ditinggal suami, namun bagi pendidik yang pernah berkecimpung dalam organisasi, biasanya tidak cilikan aten. Ini perlu saya utarakan karena saya pernah menulis di harianini, Gangguan Jiwa dan Korban Pemilu (KR, 16/6/1997) sesudah mendapat sumber ilham dari tulisan Prof dr T Yacob di KR(18/5/1997) dan tulisan Dr Suwardi (KR, 19/5/1997).

Saya punya dugaan, mungkin di tempat ibu mertua Anda itu ada penguasa yang sangat otoriter, akibatnya banyak sekali masyarakat seperti ibu mertua Anda yang pilih diam, tak berani membela diri.

Jika dugaan saya benar, cobalah menulis, bikinlah corat-coret yang ditulis dalam buku pribadi, dalam buku pribadi ibu pasti dapat dibaca bisul-bisul yang mengganggu kesehatan jiwa.

Menulis, menurut saya, juga harus banyak membaca tulisan para pakar sehingga bahan tak pernah habis.


Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003


------------

KRISIS MORAL, KRISIS RUPIAH
Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 4/3/1998


Saya tertarik membaca tulisan Sdr. Limas Sutanto (KR, 13/2/1998) berjudul “Krisis tanggung Jawab dan Komitmen Kebenaran”. Saya lantas membuka kliping, tahun 1996 ternyata Sdr. Limas sudah menulis mengenai kekerasan tak beradab dan bahasa komunikatif.

Sdr. Limas mengingatkan agar jangan meremehkan pendidikan komunikatif, dengan kata lain, perlu dijalin sambung rasa antara pemuka masyarakat dan warga masyarakat. Salah satu akibatnya bila tidak ada hubungan komunikatif, ada penundaan penyelesaian masalah dan tiadanya kepekaan terhadap keberadaan masalah.

Siapa pun yang mencermati tulisan tersebut, sekitar tahun 1996 itu sebenarnya sudah banyak pengamat tri pusat pendidikan wasiat Ki Hadjar Dewantara yang memiliki iktikad baik. Hanya, karena mereka bukan Begawan sehingga tak banyak digubris tulisannya. Sudah sewajarnyalah bahwa wasiat Ki Hadjar Dewantara ini segera dimasyarakatakan untuk mendampingi ajaran pendidikan, demi mengembalikan nilai rupiah di mata dunia.


Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003

------------

WAYANG, TONTONAN DAN TUNTUNAN
Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 9/2/1998


Dunia wayang adalah dunia tontonan dan tuntunan. Tetapi barang siapa mendalaminya akan mendapatkan ilmu yang berguna bagi kehidupan. Misalnya istilah satria pinandita, juga bisa kita resapi melalui tulisan PJ Suwarno (KR, 10/11/1997) dan tulisan Ki Suwartono (KR, 18/4/1995).

Bagi pengagum budaya wayang purwa ajaran Sunan Kalijaga, sebetulnya yang disebut satria pinandita seperti Begawan Sumali dan Begawan Wisrowo, sebagaimana ditulis Ki Suwartono, sudah lahir sebelum sebelum orang ramai membicarakan satria pinandita termasuk tulisan PJ Suwarno itu.

Hanya yang bisa menerjemahkan satria pinandita itu adalah pujangga yang menguasai ilmu weruh sadurunge winarah.



Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003

-----------------

MENGAGUMI MANUSIA MAKHLUK SOSIAL
Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 20/9/1997


Orang yang mengagumi manusia makhluk sosial paling benci pada manusia yang asosial. Sebab, manusia jenis ini biasanya tidak kuat iman dan tidak kuat iman biasanya sesudah menjadi manusia asosial gampang terjerumus ke dalam gerombolan manusia yang tidak baik.

Saya mengagumi Ibu Teresa karena pengalaman almarhum sebagai makhluk sosial sudah banyak diberitakan lewat media massa. Ini memang perlu dibaca banyak orang, dari pakar, Ketua RT sampai pimpinan tingkat nasional.

Tujuannya agar ramairamai mempromosikan bahwa manusia jenis homo homini sosius itu lebih baik dan lebih mulia dibandingkan homo homini lupus.


Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003


-----------------------------------------------------

Terima kasih, Bapak Hadiwardoyo (Purworejo-Pakem Sleman). Balasan e-mail dari Pak Hadi sungguh menggembirakan dan penuh kejutan !

Surat kedua Bapak Hadiwardoyo :

Subject: Balasan Surat Dari Bapak HARDIWARDOYO
Date: Fri, 21 Nov 2003 08:03:41 +0700 (WIT)


Nak Bambang Haryanto, umur saya sudah 80 tahun. Andaikata saya matur terhadap penjenengan dengan bahasa nak, semoga tidak ada salah tafsir.

Surat nanda sudah saya terima tgl 18-11-2003, yang beginilah mungkin yg disebut Telmi, telat mikir, artinya surat dikirim tgl 5-11-2003, 13 hari baru saya terima itu saja kebetulan sowan Pak dasun. Andai kata tidak, mungkin surat dari nanda sudah masuk keranjang sampah.

Tidak aku sangka bahwa nulis di koran itu ada yang memperhatikan seperti nak Bambang Haryanto dan lantas disusul tajuk BERNAS pada hari berikutnya, inilah suatu kebahagiaan bagi kami sebelum saya ditimbali sowan Hyang Maha Esa.

Nak Bambang Haryanto, saya nulis di koran memang panggilan jiwa, menulis selain menjadi obat penyakit stres, tetapi juga belajar dari pengalaman hidup………Saya betul-betul pengagum budoyo jowo, namun demikian saya tidak telaten mengikuti ngelmu jawa alon-alon waton kelakon, dondong opo salak duku cilik-cilik, tetapi budoyo jowo yang kreatif inovatif, seperti ajaran nenek moyang : timbang biru luwung wungu artinya timbang babi turu luwung melek melek akalnya dan emoh di akali atau tinimbang bubuk ngenteni digawakke eleng luwung bubuk gawe eleng.

Lir samudro tanpo tepi, bagi saya jika sudah tumbu oleh tutup, mungkin kontak bathin lewat tulisan pasti jalan terus. Namun demikian karena penulis pikiran pembaca bukan penjual berita, mungkin saya dapat menulis panjang, karena jika nulis panjang kendil njomplang.

Sekian dulu salam sehat walafiat antara para pemikir-pemikir idealis yang sejalan dengan nak Bambang Haryanto.


Catatan Bambang Haryanto, pengelola Epistoholik Indonesia. Alamat situs EI : http://epsia.blogspot.com / E-mail : epsia@plasa.com

Surat Pak Hadi di atas, yang diketik dengan bantuan operator sebuah warnet di Kaliurang, telah terkirim kepada saya melalui e-mail. Sebagai priyayi yang sudah sepuh, maka inisiatif beliau yang tanpa segan dan tanpa perasaan fobi untuk mengenal Internet dengan mengunjungi warnet, bagi saya, sungguh mengagumkan.

Selain itu, sudah sekitar tiga kali pula Pak Hadi menelpon, untuk sekedar ngobrol. Untuk merekatkan silaturahmi, pada tanggal 27/11/2003 telah saya kirimkan kepada Bapak Hadi beberapa fotokopi artikel dan berita mengenai aktivitas saya dalam Festival Aeng-Aeng (FAA) 2002 di Solo. Festival ini diselenggarakan oleh Republik Aeng-Aeng, yaitu komunitas para pencipta temuan unik dan kreatif. Juga saya sertakan sebuah kaos bersablonkan slogan dari FAA 2002 tersebut untuk Bapak Hadiwardoyo.

Kebetulan saya memiliki kakak sepupu dan keponakan yang tinggal di Kaliurang, yang ketemu dalam acara pertemuan Trah Martowirono (http://trah.blogspot.com) di rumah saya, 27/11/2003, maka kaos dan surat itu bisa saya titipkan untuk disampaikan kepada Pak Hadi. Beberapa hari kemudian, Pak Hadi menelpon. Saya katakan, karena menurut saya Pak Hadi itu termasuk orang yang aeng-aeng, dalam arti positif, maka kaos itu saya kirimkan kepadanya.

Pak Hadi malah berkata sambil guyon, bahwa hadiah kaos itu akan membuat merasa merasa awet muda.

Insya Allah, Pak Hadi. Semoga Tuhan senantiasa memberi karunia sehat dan umur panjang kepada Bapak Hadiwardoyo.


posted by bambang  # 4:45 AM

Archives

11/01/2003 - 12/01/2003   12/01/2003 - 01/01/2004  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?