<$BlogRSDUrl$>

Hadiwardoyo

Pakem,Kaliurang, Yogyakarta/Warga Epistoholik Indonesia

Tuesday, November 25, 2003

MENINGGALKAN FALSAFAH WAYANG
Dimuat di Harian Bernas, 20/1/2003


Jika saya tergerak untuk menanggapi tulisan saudara Muhamad Ngabdul Ngasis di Bebas Bicara Bernas tanggal 8-1-2003 dengan judul Kayon 2003, karena saya juga termasuk pengagum falsafah pakem pedalangan ringgit purwo seperti yang pernah saya tulis tiga kali berturut-turut lewat Bebas Bicara : tanggal 20/8/2000 berjudul Hati-hati pilih lakon, 10/1/2002 Dalang Sinamun Samudono, 25/5/2002 judul Semar Boyong, Super Semar demi untuk mengenang kepindahan Kantor Redaksi Bernas dari Jl. Jenderal Sudirman ke Jl. IKIP PGRI Sonosewu Yogyakarta dengan Ki Dalang Hadi Sugito.

Setiap pengagum falsafah tontonan wayang juga tuntunan budi pekerti umat manusia di dunia pada umumnya, pasti sependapat dengan tulisan saudara Muhamad Ngabdul Ngasis seperti saya kutip di atas, namun sayangnya hampir semua tontonan wayang mencerminkan tuntunan, misalnya lakon Bimo Suci tuntunan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, Wahyu Cakraningrat tuntunan menjadi pemimpin yang mendapat wahyu dari Yang Maha Kuasa, tuntunan wayang Tripomo : Kumbokarno, Adipati Karno, Sumantri Ngenger dll. hanya diminati oleh para lansia yang masih percaya kepada falsafah wayang purwo.

Para lansia yang masih percaya kepada tontonan yang mencerminkan tuntunan tersebut banyak yang miris jika tuntunan falsafah wayang tersebut akan pudar seperti wastro lungset ing sampiran.

Dalam hal ini kembali kepada falsafah wayang lagi, antara lain lakon Kongso Adu Jago, bayangkan jika hanya jabatan perangkat desa saya sering terdengar permainan Kongso Adu Jago yang membawa akibat malah merusak demokrasi pedesaan, apalagi jika sudah pemilihan aparat-aparat atau kepala-kepala pemerintahan eksekutif dan legislatif gayanya terus berubah yo bandaku, yo donyaku, yo panguasaku seperti raja Rahwana dari Alengkadiraja.

Semoga tulisan saudara Muhamad Ngabdul Ngasis dengan judul Kayon 2003 dapat memberikan ilham kepada para pembaca Bernas yang belum rela jika ajaran falsafah wayang menjadi wastro lungset ing sampiran, dan siapa lagi yang ingin menanggapi jika bukan pandemen-pandemen falsafah pakem ringgit purwo, terutama pandemen-pandemen Bernas.


Hadiwardoyo (Pakem, Sleman).
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 23/11/2003


------------------
SLEMAN SEMBADA CUMA HIASAN ?
Dimuat di Harian Bernas, 27/10/2000


Sebagai warga Sleman yang sudah pernah mengabdi menjadi Kadus selama lebih dari empat puluh tahun, mulai 1946 sampai 1994, saya ikut merasa prihatin membaca tajuk Bernas tanggal 17 Oktober 2000 berjudul Disiplin Kerja Anggota DPRD Sleman.

Ikut prihatin karena jika apa yang ditulis dalam tajuk tersebut ternyata benar. Ini berarti :

1. Semboyan Sleman Sembada nantinya hanya menjadi hiasan bibir dan hanya dipraktekkan lewat seragam Sleman Sembada.
2. Sebelum Bapak Arifin Ilyas purna tugas mungkin juga meninggalkan pesan-pesan kepada penggantinya yang seharusnya segera dilaksanakan oleh bupati yang baru Bapak Ibnu Subiyanto akan menjadi terbengkalai karena 20 persen anggota DPRD Sleman menjadi pembolos.
3. Wakil rakyat yang menganggap budaya membolos tidak merasa berdosa terhadap rakyat yang diwakili, biasanya sok nggampangke perkara, jika mengambil keputusan secara gegabah, akibatnya padang ngarep peteng mburi, wong cilik yang tidak berdosa jadi korban.
4. Wakil rakyat pembolos tak bisa membedakan unjuk rasa menyuarakan kebenaran dan unjuk rasa pukul dulu urusan belakang.

Beruntung masih ada tajuk, artikel, berita dll yang memperingatkan wakil rakyat yang hobi membolos.


Hadiwardoyo (Pakem, Sleman).
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 23/11/2003


----------------
RAMALAN PUJANGGA JAWA
Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 12/5/1997


Artikel di KR (5/4/1995) tentang paranormal dan dunia ramal-meramal yang ditulis Sarworo Suprapto, dan juga penulis-penulis lain di Indonesia yang menulis tentang ramalan Ronggowarsito, menurut pemahaman saya, yakin dan percaya ramalan-ramalan yang bersumber pada pujangga Jawa dari zaman Majapahit sampai Kerajaan Mataram, tidak mungkin mengganggu kamtibmas.

Andaikata saya bisa menulis, akan saya tulis hal-hal sebelum tahun 1997.

Hadiwardoyo
Penggemar ramalan pujangga Surakarta
tinggal di Pakem, Sleman.
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 23/11/2003
---------------------

SETELAH MBAH GITO WAFAT
Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 9/4/1996.


Dengan wafatnya Mbah Gito pada tanggal 26 Maret 1996, berarti di Sleman tidak hanya kehilangan seorang bapak yang menguasai ilmu pedalangan, ilmu lawak, ketoprak, karawitan, dsb., tapi bagi seniman dan budayawan di pedesaan jelas sudah kehilangan seorang bapak seni budaya yang dapat menerjemahkan 10 kategori bahasa seni. Berarti tinggal Mbah Gati yang dapat menerjemahkannya.

Siapa pun yang sudah mengagumi seniman kondang seperti Mbah Gito-Gati itu dan juga mengagumi pujangga, karya-karyanya, dapat membaca apa sebabnya organisasi-organisasi kesenian di Sleman, selain PS Bayu, banyak yang gulung tikar.

Pada umumnya, orang malas mempelajari manajemen PS Bayu, Sapta Mandala, Siswo Budoyo, dsb. Selain malas mempelajari manajemen organisasi seni budaya yang sudah mapan itu, juga malas membaca tulisan para seniman.

Lalu, kapan seniman-seniman Sleman bertemu ? Dengan pertemuan seperti itu, artinya suara seniman tidak tersingkir dari organisasi kesenian yang belum dapat menerjemahkan 10 kategori bahasa seni budaya di Kabupaten Sleman.

Hadiwardoyo (Pakem, Sleman).
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 5/11/2003

-------------------
PENYELAMAT BUDAYA JAWA
Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 11/1/1996


Penulis terkenal bahasa Jawa, Esmit, punya ramalan bahwa sastra Jawa tinggal 14 tahun lagi. Artinya, sastra Jawa akan mati tahun 2009. Kemudian akan disusul kematian majalah-majalah berbahasa Jawa. Ramalan tersebut ada baiknya kita perhatikan dan direnungkan. Semoga ramalan ini juga menggugah para pemikir budaya Jawa, bagaimana menolong kehidupannya.

Kematian sastra jawa sama halnya dengan kematian sastra gending ciptaan Sultan Agung. Konon, menurut pakar karawitan, Sultan Agung Mataram memberi wasiat yang antara lain, “ojo ngaku wong Metaram (jawa) yen during nyinau sastra gending”. Artinya, jangan coba mengaku menjadi orang Jawa (Mataram) kalau belum mempelajari sastra gending.

Karena di pedesaan tidak ada organisasi pengarang bahsa jawa, sebagai barometer kebudayaan Jawa sebetulnya dapat dicermati lewat organisasi- organisasi seni karawitan, seni pedalangan dan seni tari (di pedesaan). Bagi para pengamat seni budaya di pedesaan, mudah membaca mati hidupnya budaya Jawa.

Artinya, jika seni karawitan, seni pedalangan, seni tari dan ketoprak di pedesaan sirna, pertanda lonceng kematian budaya Jawa telah tiba. Yang dapat bertahan hanya organisasi-organisasi kesenian yang sudah punya gelar narasi agung yang dekat dengan birokrasi kekuasaan.

Siapa penyelamat budaya Jawa ?


Hadiwardoyo (Pakem, Sleman).
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 5/11/2003


--------------

Bapak HADIWARDOYO (Purworejo, Pakem, Sleman Yogyakarta), Epistoholik Indonesia mengucapkan terima kasih untuk kiriman surat dan atensi Anda. Selamat bergabung pula dalam keluarga Epistoholik Indonesia !

SURAT PERTAMA PAK HADIWARDOYO :

“Karena saya tertarik dengan tulisan (di kolom Bebas Bicara-Harian Bernas) yang diutarakan oleh Bambang Haryanto yang nongol di Harian Bernas (18/10/2003), maka bersama ini.. memohon informasi….Perlu kami haturkan bahwa mulai bulan September saya juga sudah punya buku pribadi tentang kliping koran tulisan saya sendiri, antara lain seperti terlampir”, demikian sebagian isi surat tulisan tangan dari Bapak Hadiwardoyo (27/10/2003).


Catatan Bambang Haryanto (pengelola situs Epistoholik Indonesia/E-mail : epsia@plasa.com/ Situs : http://epsia.blogspot.com) :

“Terima kasih, Bapak Hadiwardoyo. Contoh surat-surat pembaca yang Bapak lampirkan, sungguh menunjukkan kejelian, kepedulian, dan gairah yang tinggi dari Bapak Hadi dalam menyoroti aneka isu penting di masyarakat. Misalnya mengenai pentingnya keberadaan organisasi seni budaya di Sleman, keprihatinan Bapak tentang perkembangan budaya Jawa, sampai masalah kinerja anggota DPRD Sleman yang konon suka membolos.”

“Semuanya itu menunjukkan ketajaman dan kualitas tinggi sosok Bapak Hadiwardoyo sebagai seorang epistoholik Indonesia, dan pantas menjadi teladan kita-kita para epistoholik yunior.”



posted by bambang  # 5:13 AM

Sunday, November 23, 2003

Yth. Bapak Hadiwardoyo di Pakem, Kaliurang, Yogyakarta.

Dengan hormat,
hari ini telah saya bangun situs blog untuk menampung karya tulis surat-surat pembaca Bapak selama ini. Hal ini sebagai rasa kagum dan hormat saya atas dedikasi bapak Hadi yang patut dijadikan teladan kami-kami epistoholik muda.
Selamat panjang umur, Pak Hadi.

Hormat saya,
Bambang Haryanto

posted by bambang  # 5:52 AM

Archives

11/01/2003 - 12/01/2003   12/01/2003 - 01/01/2004  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?