-------------------------------------------------------
Catatan Bambang Haryanto, pengelola Epistoholik Indonesia. Alamat situs EI : http://epsia.blogspot.com / E-mail : epsia@plasa.com
Sungguh menggembirakan hati, pada tanggal 2 Desember 2003 saya menerima surat ketiga dari Bapak Hadiwardoyo. Kali ini sebuah kumpulan kliping berisi surat-surat pembaca beliau, yang beliau tulis antara tahun 1997 sampai tahun 2003. Di dalamnya juga disertakan beberapa kliping artikel yang menjadi referensi atau penguat tulisan surat-surat pembaca Pak Hadi. Subjek tulisan beliau sangat luas dan kaya.
Tidak semua surat pembaca dalam kliping itu ditampilkan di sini, tetapi Anda dapat menyimak subjek-subjek yang menjadi bahan tulisan beliau di bawah ini. Dari topik “Sumber Daya Air dan Kekuasaan” sampai “Mengagumi Manusia Makhluk Sosial” yang merujuk kepada pengabdian luar biasa seorang Suster Teresa di India.
Terima kasih, Bapak Hadi.
(BH-7/12/2003)
---------------
SUMBER DAYA AIR DAN KEKUASAAN
Dimuat di Harian Bernas, 13/8/2003
Pada waktu saya menulis lewat pikiran pembaca dengan judul Umbul Manten dan Sejarah Metaram, kekuasaan Orba masih perkasa. Artinya pada saat itu penguasa Orba dengan senjata kekuasaannya dapat dengan mudah mengatur mat air Umbul Manten di bawah Lereng Merapi menurut kemauan kekusaan Orba yang rencananya hampir 100 % baik mata air dari Umbul Lanang mau pun mata air Umbul Wadon akan dimonopoli oleh Ny Siti Hardiyanti Indra Rukmana anak Presiden Soeharto yang mungkin sudah punya ramalan bahwa kekuasaan Orba pasti langgeng turun-temurun.
Namun ternyata baru satu tahun perencanaan proyek tersebut berjalan, pecahlah reformasi yang digerakkan oleh para mahasiswa dan pada 1998 kekuasaan Pak Harto tumbang pada bulan Mei. Dan sekitar sebulan kemudian timbulah demo yang digerkkan oleh warga di bawah Lereng Merapi Sleman Utara yang antara lain dipimpin oleh Sdr Mulyono dan sekarang menjadi Lurah Desa Hargobinangun yang selalu bersuara vokal dalam memimpin rakyatnya, terutama jika menghadapi penguasa yang berbau Orba termasuk masalah sumber daya air di Sleman Utara.
Tetapi yang namanya kekuasaan,mungkin mulai dari tingkat Dusun/Desa sampai tingkat nasional mungkin tidak jauh berbeda, artinya sebelum berkuasa layak diberi gelar pahlawan Orba menggulingkan Orla, pahlawan reformasi menggulingkan Orba dst.dst, tetapi jika sudah sampai mempertanggungjawabkan soal sumber daya alam dan sumber daya air para petani pemakai air dalam hati sering bertanya : Siapakah yang bertanggung jawab soal sumber daya air ?
Pertanyaan ini kami iutarakan lewat (kolom) BB Bernas karena saya merasa tergerak untyuk menanggapi artikel Bernas yang ditulis oleh Sdr IB Ilham Malik AG tanggal 16/6/2003 dengan judul Privatisasi Air Di Yogyakarta dan di antara tulisannya juga menyebut sumber mata air di Sleman.
Sebagai warga Sleman yang juga pernah mengutarakan lewat harian ini dengan judul Misteri Lereng Merapi (Bernas, 27/7/2000) wajarlah turun urun pendapat dengan harapan agar kekuasaan atau sesudah berkuasa jangan sekali-kali memonopoli sumber daya air tanpa menghiraukan kodrat alam yang tujuannya agar semua mata air yang ada di bawah Lereng Merapi seakan-akan hanya miliknya yang sedang berkuasa.
Menurut penilaian saya dalam masalah mengatur sumber air yang asalnya dari Umbul Manten dari bawah Lereng Merapi yang menjadi urat nadi kehidupan petani di wilayah DIY sebelum Orba berkuasa dengan undang-undang No. 5 Th 79 jauh lebih teratur karena penanggung jawabnya jelas, antara lain : 1. dari Kepala Dinas Pengairan ; 2. Kepala Bagian Kemakmuran atau Ulu-ulu pada jaman penjajahan Belanda, dan 3. Kepala Dukuh dibantu Organisasi Petani Pemakai Air.
Tetapi sesudah Kepala Bagian Kemakmuran berdasarkan Undang-Undang no. 15 Th 46 DIY diganti nama Kaur Pembangunan UU No 5 Th 79 dan dilanjutkan dengan UU No 22 Th 99, sungguh sangat menyedihkan hampir semua bangunan pengairan baik pun bangunan primair, sekunder, tersier di pedesaan dibiarkan terbengkalai.
Semoga tulisan ini mendapat perhatian dari yang berwajib.
Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003
---------------
SEMAR BOYONG, SUPER SEMAR
Dimuat di Harian Bernas, 24/5/2002
Lakon Semar Boyong dengan Ki Dalang kondang Ki Hadi Sugito, di kantor redaksi Bernas Jl. IKIP PGRI Sonosewu Yogyakarta tanggal 20 Mei 2002, adalah perwujudan moral manusia yang berbentuk wayang kulit dari kulit kerbau atau lembu, tetapi karena ki dalang sudah mendapat wahyu Illahi, dapat mempesona para penontonnya mulai awal sampai tanceb kayon.
Semar Boyong bukan Super Semar. Jika Semar Boyong ki dalang mengatur wayang kulit dan bisa menjadi dalang kondang bukan karena mendapat SK dari presiden, menteri, gubernur, bupati, lurah dan sebagainya.
Tetapi Super Semar -dalang wayang manusia dan pengemban Super Semar-- bisa menjadi petinggi Negara, karena mendapat kepercayaan atau SK dari presiden pertama perintis kemerdekaan RI, yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Saya pernah baca koran masuk desa, bahwa saat ini Ki Dalang Manteb Sudarsono sudah mendapat gelar dalang kondang tingkat dunia, karena dianggap mumpuni dapat menerjemahkan arti wayang Jawa yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan sejarah umat manusia di dunia, hebat kan !
Sebetulnya, jika direnungkan secara mendalam, bangsa Indonesia terutama suku Jawa, yang mempunyai jabatan penting di lembaga-lembaga pemerintahan dan bersih dari KKN, ada baiknya jika kebetulan tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan yang sulit, cobalah minta saran kepada para dalang yang sudah kondang seperti Ki Hadi Sugito, Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Manteb Sudarsono, Ki Anom Suroto dan lain-lain.
Bagi saya, mungkin juga para pembaca Bernas yang rajin membaca arti Supersemar dan juga kebetulan nonton Semar Boyong Bernas, pasti dapat menebak siapakah sebetulnya pemimpin yang mendapat wahyu Semar ?
Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003
---------------
KAPAN PERDES MENULIS
Dimuat di Harian Bernas, 13/5/2002
Keluhan seperti yang diutarakan saudara Soedharto Atmojo berjudul Pemilihan Kaur Pemerintahan di rubrik ini (Bebas Bicara, Bernas 4/5/2002) warga Sareyan Karangtalun Imogiri Bantul sebetulnya tidak sendirian.
Bahkan, mungkin hampir setiap desa/kelurahan ada terutama desa-desa yang bengkoknya subur termasuk desa-desa yang sudah berubah menjadi perkotaan. Namun sayang meskipun tulisan-tulisan yang senada dengan tulisan saudara Soedharto Atmojo tersebut sering nongol di Bernas, saya belum pernah menjumpai tulisan-tulisan yang punya iktikad baik agar budaya money politics dapat dikurangi belum pernah ada yang murni dari perdes (perangkat desa).
Sebetulnya, jika dicermati dengan sungguh-sungguh belum tentu setiap balon perangkat desa pasti berani menghambur-hamburkan uang demi mengejar pangkat tanpa memperhitungkan untung ruginya dari segi ketenangan rumah tangga apalagi desa yang minus.
Koran masuk desa sebetulnya sudah menjadi santapan sehari-hari, namun demikian jika ada tulisan-tulisan lewat koran yang menyindir permainan uang dalam setiap ada pemilihan perangkat desa dan para aparat desa hanya bungkam dalam seribu bahasa, baik lewat lisan mau pun tulisan. Ini berarti masih ada pegawai di pedesaan yang malas membaca dan tidak berani mengutarakan pendapatnya lewat koran.
Mungkin di antara bapak-bapak perdes terutama yang sekarang sedang punya gawe pesta pemilihan perangkat desa, cobalah menulis di koran terutama di Bernas demi menjaga nama baik para balon-balon aparat desa yang bersih dari money politics.
Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003
---------
AJARAN KI HAJAR
Dimuat di Harian Bernas, 16/1/2002
Mendidik masyarakat dengan meminjam bahasa Ki Hajar Dewatara, misalnya “Sepi ing pamrih rame ing gawe”, tri darma pendidikan budi pekerti, “Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” dan juga tri pusat pendidikan “mendidik di dalam kelas, mendidik dalam lingkungan keluarga, mendidik di tengah-tengah lingkungan masyarakat”, memang mudah diucapkan, namun mendidik masyarakat pada jamannya Ki Hajar Dewantara jelas tidak sama dengan jaman reformasi mulai jaman Presiden Habibie sampai Presiden Megawati.
Banyak lansia yang sudah nglokro mendidik anak cucu dengan menggunakan system Ki Hajar Dewantara karena gencarnya budaya-budaya luar negeri baik lewat TV, VCD dan tontonan-tontonan yang memamerkan tubuh-tubuh yang aduhai dengan sangat mudah mempengaruhi para muda-mudi yang malas membaca sejarah dan ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara.
Namun demikian tidak semua orang tua patah semangat dalam mendidik generasi muda dan masih aktif menggunakan system Ki Hajar Dewantar, terutama sesudah membaca berita Bernas tanggal 2/1/2003 dengan judul “Ajaran Ki Hajar Dewantara perlu dikembangkan”.
Bagi saya berita tersebut sungguh sangat berguna, karena selain “ dapat menggugah para orangtua yang sudah patah semangat tetapi gemanya pasti sangat luas karena dengan membaca berita tersebut pasti segera timbul niat dan mengajak sesame orangtua, marilah ajaran Ki Hajar Dewantara yang adi luhung digali kembali.
Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003
---------
DALANG SINAMUN SAMUDANA
Dimuat di Harian Bernas,10/1/2002
Saya termasuk pengagum dalang-dalang kondang seperyi Ki Timbul hadiprayitno, Ki Hadisugito Yogyakarta, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, Ki Entus Suksmono Tegal dan Ki Joko edan Semarang, namun dalam hal menyampaikan wewarah dalang ngudal piwulang bagi saya mungkin juga bagi para pengagum, dalang-dalang Yogya dan Solo jauh lebih bijaksana terutama dalam hal memanfaatkan tokoh-tokoh parpol yang sekarang sedang naik pamornya lewat lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif.
Tidak ada dalang yang tidak berpolitik terutama dalang yang sudah kondang, namun demikian untuk dalang-dalang Yogya-Solo seingat saya belum pernah mempromosikan tokoh idolanya secara vulgar. Dalang-dalang Yogya-Solo tetap menggunakan bahasa sinamun ing samudana, sesadon ingadu manis.
Penonton yang jeli sudah dapat membaca bahwa dalang-dalang yang sudah kondang tersebut pasti ada yang menjadi pendukung Pak Amien Rais, Gus Dur, Bu Megawati, Pak Harto dan sebagainya, namun bagi saya dalang harus adil dalam menyampaikan wewarah kepada si penonton karena jika tidak adil ini berarti sang dalang sudah mengganggu kerukunan nasional.
Semoga bebas bicara ini juga ada manfaatnya untuk TVRI Stasiun Yogyakarta yang baru saja menyelenggarakan siaan wayang kulit semalam suntuk pada malam Tahun Baru 2001/2002 dengan lakon Aswatama Landak.
Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003
-----------------
HATI-HATI PILIH LAKON
Dimuat di Harian Bernas, 20/8/2000
Setiap pejabat terutama Kepala Pemerintahan yang mengagumi falsafah Jawa bahwa Pakem Ringgit Purwa selain sebagai tontonan juga tuntunan seperti tajuk Bernas tanggal 14 Agustus 2000 pasti sependapat dengan tajuk tersebut, misalnya jika sebelum Presiden Soeharto lengser keprabon dalam pergelaran wayang dengan lakon Semar Mbabar Jati, mestinya pagelaran berikutnya bukan lakon Rama Tambak, tetapi Rama Nitis, lakon peralihan dari ceritera pedalangan Ramayana Orde Baru ke lakon Pandawa Lima Darah Barata.
Sayang Soeharto belum waskita sehingga dia jatuh dengan tidak hormat, dihujat, dicacimaki, dipermalukan. Adapun Bung Karno meski pun jatuh tetapi jatuh dengan hormat, antara lain
(1) Tidak terlibat KKN,
(2) Anak cucu Bung Karno tidak terlibat dalam masalah KKN,
(3) Puteri Bung Karno masih ada yang kejatuhan “wahyu” menjadi Wakil Presiden.
Tidak semua falsafah wayang purwa ciptaan para pujangga benar 100 %. Namun demikian dengan adanya lakon Rama Tambak sebelum Soeharto lengser keprabon ternyata lakon tersebut betul-betul menjadi lakon senjata makan tuan yang mengakibatkan Presiden Soeharto jatuh dengan tidak hormat oleh gerakan reformasi yang dimotori para mahasiswa dari segala penjuru tanah air.
Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003
--------------
MISTERI LERENG MERAPI
Dimuat di Harian Bernas, 27/7/2000
Adanya berita Ulen Sentalu Disomasi Warga Kaliurang di Bernas/KR tanggal 20-7-2000, saya terusik menulis surat pembaca ini dengan maksud mengingatkan Anda sekalian akan perlunya memperhatikan masalah sejarah dan keajaiban Gunung Merapi. Pariwisata alam sekitar Gunung Plawangan dan Gunung Turgo yang arahnya tidak lepas dari sejarah Metaram antara lain Pesanggrahan Ngeksi Gondo, Tlogo Nirmolo, Tlogo Muncar, Tlogo Putri, Kabul Manten dan Plunjon.
Jika menyusur ke bawah akan menemui tiga terowongan sepanjang sekitar 900 m urat nadi irigasi para petani di bawah lereng Merapi peninggalan almarhum Ki Ponggolo.
Lewat rubrik ini saya perlu menghimbau agar Anda semua tidak mengabaikan petuah Wong Tuwo dan dengan terjadinya sengkolo yang pernah terjadi di dekat Pesanggrahan Ngeksi Gondo, lokasi Pemancingan Cek Dam dekat terowongan Ponggolo dll. Dapat menjadi pelajaran yang berguna.
Dengan terjadinya sengkolo-sengkolo tersebut di atas ada baiknya sebelum melaksanakan kegiatan selain minta ijin kepada penguasa setempat juga amit-amit kepada para pinisepuh di bawah lereng Merapi antara lain :
1. Mbah Maridjan,
2. Bp. Martomahargyo,
3. Bp. Mardiwihardjo.
Karena ketiga beliau tersebut tahu betul tentang rahasia Gunung Merapi dan menguasai sejarah Kaliurang, Hargobinangun, Pakem, Sleman.
Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003
---------------
MENULIS, CARA MENANGKAL STRES
Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 14/11/1998
Membaca keluhan seorang pembaca di Konsultasi kesehatan Jiwa (KR, 8/11/1998) saya punya pendapat. Jika ibu merua Anda itu pensiunan guru SMP dan pernah aktif dalam organisasi kemasyarakatan, jangan cemas.
Bisa diobati dengan cara menulis sesuai kemampuannnya. Biar pun sudah pension dan ditinggal suami, namun bagi pendidik yang pernah berkecimpung dalam organisasi, biasanya tidak cilikan aten. Ini perlu saya utarakan karena saya pernah menulis di harianini, Gangguan Jiwa dan Korban Pemilu (KR, 16/6/1997) sesudah mendapat sumber ilham dari tulisan Prof dr T Yacob di KR(18/5/1997) dan tulisan Dr Suwardi (KR, 19/5/1997).
Saya punya dugaan, mungkin di tempat ibu mertua Anda itu ada penguasa yang sangat otoriter, akibatnya banyak sekali masyarakat seperti ibu mertua Anda yang pilih diam, tak berani membela diri.
Jika dugaan saya benar, cobalah menulis, bikinlah corat-coret yang ditulis dalam buku pribadi, dalam buku pribadi ibu pasti dapat dibaca bisul-bisul yang mengganggu kesehatan jiwa.
Menulis, menurut saya, juga harus banyak membaca tulisan para pakar sehingga bahan tak pernah habis.
Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003
------------
KRISIS MORAL, KRISIS RUPIAH
Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 4/3/1998
Saya tertarik membaca tulisan Sdr. Limas Sutanto (KR, 13/2/1998) berjudul “Krisis tanggung Jawab dan Komitmen Kebenaran”. Saya lantas membuka kliping, tahun 1996 ternyata Sdr. Limas sudah menulis mengenai kekerasan tak beradab dan bahasa komunikatif.
Sdr. Limas mengingatkan agar jangan meremehkan pendidikan komunikatif, dengan kata lain, perlu dijalin sambung rasa antara pemuka masyarakat dan warga masyarakat. Salah satu akibatnya bila tidak ada hubungan komunikatif, ada penundaan penyelesaian masalah dan tiadanya kepekaan terhadap keberadaan masalah.
Siapa pun yang mencermati tulisan tersebut, sekitar tahun 1996 itu sebenarnya sudah banyak pengamat tri pusat pendidikan wasiat Ki Hadjar Dewantara yang memiliki iktikad baik. Hanya, karena mereka bukan Begawan sehingga tak banyak digubris tulisannya. Sudah sewajarnyalah bahwa wasiat Ki Hadjar Dewantara ini segera dimasyarakatakan untuk mendampingi ajaran pendidikan, demi mengembalikan nilai rupiah di mata dunia.
Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003
------------
WAYANG, TONTONAN DAN TUNTUNAN
Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 9/2/1998
Dunia wayang adalah dunia tontonan dan tuntunan. Tetapi barang siapa mendalaminya akan mendapatkan ilmu yang berguna bagi kehidupan. Misalnya istilah satria pinandita, juga bisa kita resapi melalui tulisan PJ Suwarno (KR, 10/11/1997) dan tulisan Ki Suwartono (KR, 18/4/1995).
Bagi pengagum budaya wayang purwa ajaran Sunan Kalijaga, sebetulnya yang disebut satria pinandita seperti Begawan Sumali dan Begawan Wisrowo, sebagaimana ditulis Ki Suwartono, sudah lahir sebelum sebelum orang ramai membicarakan satria pinandita termasuk tulisan PJ Suwarno itu.
Hanya yang bisa menerjemahkan satria pinandita itu adalah pujangga yang menguasai ilmu weruh sadurunge winarah.
Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003
-----------------
MENGAGUMI MANUSIA MAKHLUK SOSIAL
Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 20/9/1997
Orang yang mengagumi manusia makhluk sosial paling benci pada manusia yang asosial. Sebab, manusia jenis ini biasanya tidak kuat iman dan tidak kuat iman biasanya sesudah menjadi manusia asosial gampang terjerumus ke dalam gerombolan manusia yang tidak baik.
Saya mengagumi Ibu Teresa karena pengalaman almarhum sebagai makhluk sosial sudah banyak diberitakan lewat media massa. Ini memang perlu dibaca banyak orang, dari pakar, Ketua RT sampai pimpinan tingkat nasional.
Tujuannya agar ramairamai mempromosikan bahwa manusia jenis homo homini sosius itu lebih baik dan lebih mulia dibandingkan homo homini lupus.
Hardiwardoyo (Pakem, Sleman)
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 07/12/2003
-----------------------------------------------------
Terima kasih, Bapak Hadiwardoyo (Purworejo-Pakem Sleman). Balasan e-mail dari Pak Hadi sungguh menggembirakan dan penuh kejutan !
Surat kedua Bapak Hadiwardoyo :
Subject: Balasan Surat Dari Bapak HARDIWARDOYO
Date: Fri, 21 Nov 2003 08:03:41 +0700 (WIT)
Nak Bambang Haryanto, umur saya sudah 80 tahun. Andaikata saya matur terhadap penjenengan dengan bahasa nak, semoga tidak ada salah tafsir.
Surat nanda sudah saya terima tgl 18-11-2003, yang beginilah mungkin yg disebut Telmi, telat mikir, artinya surat dikirim tgl 5-11-2003, 13 hari baru saya terima itu saja kebetulan sowan Pak dasun. Andai kata tidak, mungkin surat dari nanda sudah masuk keranjang sampah.
Tidak aku sangka bahwa nulis di koran itu ada yang memperhatikan seperti nak Bambang Haryanto dan lantas disusul tajuk BERNAS pada hari berikutnya, inilah suatu kebahagiaan bagi kami sebelum saya ditimbali sowan Hyang Maha Esa.
Nak Bambang Haryanto, saya nulis di koran memang panggilan jiwa, menulis selain menjadi obat penyakit stres, tetapi juga belajar dari pengalaman hidup………Saya betul-betul pengagum budoyo jowo, namun demikian saya tidak telaten mengikuti ngelmu jawa alon-alon waton kelakon, dondong opo salak duku cilik-cilik, tetapi budoyo jowo yang kreatif inovatif, seperti ajaran nenek moyang : timbang biru luwung wungu artinya timbang babi turu luwung melek melek akalnya dan emoh di akali atau tinimbang bubuk ngenteni digawakke eleng luwung bubuk gawe eleng.
Lir samudro tanpo tepi, bagi saya jika sudah tumbu oleh tutup, mungkin kontak bathin lewat tulisan pasti jalan terus. Namun demikian karena penulis pikiran pembaca bukan penjual berita, mungkin saya dapat menulis panjang, karena jika nulis panjang kendil njomplang.
Sekian dulu salam sehat walafiat antara para pemikir-pemikir idealis yang sejalan dengan nak Bambang Haryanto.
Catatan Bambang Haryanto, pengelola Epistoholik Indonesia. Alamat situs EI : http://epsia.blogspot.com / E-mail : epsia@plasa.com
Surat Pak Hadi di atas, yang diketik dengan bantuan operator sebuah warnet di Kaliurang, telah terkirim kepada saya melalui e-mail. Sebagai priyayi yang sudah sepuh, maka inisiatif beliau yang tanpa segan dan tanpa perasaan fobi untuk mengenal Internet dengan mengunjungi warnet, bagi saya, sungguh mengagumkan.
Selain itu, sudah sekitar tiga kali pula Pak Hadi menelpon, untuk sekedar ngobrol. Untuk merekatkan silaturahmi, pada tanggal 27/11/2003 telah saya kirimkan kepada Bapak Hadi beberapa fotokopi artikel dan berita mengenai aktivitas saya dalam Festival Aeng-Aeng (FAA) 2002 di Solo. Festival ini diselenggarakan oleh Republik Aeng-Aeng, yaitu komunitas para pencipta temuan unik dan kreatif. Juga saya sertakan sebuah kaos bersablonkan slogan dari FAA 2002 tersebut untuk Bapak Hadiwardoyo.
Kebetulan saya memiliki kakak sepupu dan keponakan yang tinggal di Kaliurang, yang ketemu dalam acara pertemuan Trah Martowirono (http://trah.blogspot.com) di rumah saya, 27/11/2003, maka kaos dan surat itu bisa saya titipkan untuk disampaikan kepada Pak Hadi. Beberapa hari kemudian, Pak Hadi menelpon. Saya katakan, karena menurut saya Pak Hadi itu termasuk orang yang aeng-aeng, dalam arti positif, maka kaos itu saya kirimkan kepadanya.
Pak Hadi malah berkata sambil guyon, bahwa hadiah kaos itu akan membuat merasa merasa awet muda.
Insya Allah, Pak Hadi. Semoga Tuhan senantiasa memberi karunia sehat dan umur panjang kepada Bapak Hadiwardoyo.
MENINGGALKAN FALSAFAH WAYANG
Dimuat di Harian Bernas, 20/1/2003
Jika saya tergerak untuk menanggapi tulisan saudara Muhamad Ngabdul Ngasis di Bebas Bicara Bernas tanggal 8-1-2003 dengan judul Kayon 2003, karena saya juga termasuk pengagum falsafah pakem pedalangan ringgit purwo seperti yang pernah saya tulis tiga kali berturut-turut lewat Bebas Bicara : tanggal 20/8/2000 berjudul
Hati-hati pilih lakon, 10/1/2002
Dalang Sinamun Samudono, 25/5/2002 judul
Semar Boyong, Super Semar demi untuk mengenang kepindahan Kantor Redaksi Bernas dari Jl. Jenderal Sudirman ke Jl. IKIP PGRI Sonosewu Yogyakarta dengan Ki Dalang Hadi Sugito.
Setiap pengagum falsafah tontonan wayang juga tuntunan budi pekerti umat manusia di dunia pada umumnya, pasti sependapat dengan tulisan saudara Muhamad Ngabdul Ngasis seperti saya kutip di atas, namun sayangnya hampir semua tontonan wayang mencerminkan tuntunan, misalnya lakon Bimo Suci tuntunan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, Wahyu Cakraningrat tuntunan menjadi pemimpin yang mendapat wahyu dari Yang Maha Kuasa, tuntunan wayang Tripomo : Kumbokarno, Adipati Karno, Sumantri Ngenger dll. hanya diminati oleh para lansia yang masih percaya kepada falsafah wayang purwo.
Para lansia yang masih percaya kepada tontonan yang mencerminkan tuntunan tersebut banyak yang miris jika tuntunan falsafah wayang tersebut akan pudar seperti
wastro lungset ing sampiran.
Dalam hal ini kembali kepada falsafah wayang lagi, antara lain lakon Kongso Adu Jago, bayangkan jika hanya jabatan perangkat desa saya sering terdengar permainan Kongso Adu Jago yang membawa akibat malah merusak demokrasi pedesaan, apalagi jika sudah pemilihan aparat-aparat atau kepala-kepala pemerintahan eksekutif dan legislatif gayanya terus berubah
yo bandaku, yo donyaku, yo panguasaku seperti raja Rahwana dari Alengkadiraja.
Semoga tulisan saudara Muhamad Ngabdul Ngasis dengan judul Kayon 2003 dapat memberikan ilham kepada para pembaca Bernas yang belum rela jika ajaran falsafah wayang menjadi
wastro lungset ing sampiran, dan siapa lagi yang ingin menanggapi jika bukan pandemen-pandemen falsafah pakem ringgit purwo, terutama pandemen-pandemen Bernas.
Hadiwardoyo (Pakem, Sleman).
Diketik ulang oleh
Bambang Haryanto, 23/11/2003
------------------
SLEMAN SEMBADA CUMA HIASAN ?
Dimuat di Harian Bernas, 27/10/2000
Sebagai warga Sleman yang sudah pernah mengabdi menjadi Kadus selama lebih dari empat puluh tahun, mulai 1946 sampai 1994, saya ikut merasa prihatin membaca tajuk Bernas tanggal 17 Oktober 2000 berjudul Disiplin Kerja Anggota DPRD Sleman.
Ikut prihatin karena jika apa yang ditulis dalam tajuk tersebut ternyata benar. Ini berarti :
1. Semboyan Sleman Sembada nantinya hanya menjadi hiasan bibir dan hanya dipraktekkan lewat seragam Sleman Sembada.
2. Sebelum Bapak Arifin Ilyas purna tugas mungkin juga meninggalkan pesan-pesan kepada penggantinya yang seharusnya segera dilaksanakan oleh bupati yang baru Bapak Ibnu Subiyanto akan menjadi terbengkalai karena 20 persen anggota DPRD Sleman menjadi pembolos.
3. Wakil rakyat yang menganggap budaya membolos tidak merasa berdosa terhadap rakyat yang diwakili, biasanya sok nggampangke perkara, jika mengambil keputusan secara gegabah, akibatnya padang ngarep peteng mburi, wong cilik yang tidak berdosa jadi korban.
4. Wakil rakyat pembolos tak bisa membedakan unjuk rasa menyuarakan kebenaran dan unjuk rasa pukul dulu urusan belakang.
Beruntung masih ada tajuk, artikel, berita dll yang memperingatkan wakil rakyat yang hobi membolos.
Hadiwardoyo (Pakem, Sleman).
Diketik ulang oleh
Bambang Haryanto, 23/11/2003
----------------
RAMALAN PUJANGGA JAWA
Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 12/5/1997
Artikel di KR (5/4/1995) tentang paranormal dan dunia ramal-meramal yang ditulis Sarworo Suprapto, dan juga penulis-penulis lain di Indonesia yang menulis tentang ramalan Ronggowarsito, menurut pemahaman saya, yakin dan percaya ramalan-ramalan yang bersumber pada pujangga Jawa dari zaman Majapahit sampai Kerajaan Mataram, tidak mungkin mengganggu kamtibmas.
Andaikata saya bisa menulis, akan saya tulis hal-hal sebelum tahun 1997.
Hadiwardoyo
Penggemar ramalan pujangga Surakarta
tinggal di Pakem, Sleman.
Diketik ulang oleh
Bambang Haryanto, 23/11/2003
---------------------
SETELAH MBAH GITO WAFAT
Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 9/4/1996.
Dengan wafatnya Mbah Gito pada tanggal 26 Maret 1996, berarti di Sleman tidak hanya kehilangan seorang bapak yang menguasai ilmu pedalangan, ilmu lawak, ketoprak, karawitan, dsb., tapi bagi seniman dan budayawan di pedesaan jelas sudah kehilangan seorang bapak seni budaya yang dapat menerjemahkan 10 kategori bahasa seni. Berarti tinggal Mbah Gati yang dapat menerjemahkannya.
Siapa pun yang sudah mengagumi seniman kondang seperti Mbah Gito-Gati itu dan juga mengagumi pujangga, karya-karyanya, dapat membaca apa sebabnya organisasi-organisasi kesenian di Sleman, selain PS Bayu, banyak yang gulung tikar.
Pada umumnya, orang malas mempelajari manajemen PS Bayu, Sapta Mandala, Siswo Budoyo, dsb. Selain malas mempelajari manajemen organisasi seni budaya yang sudah mapan itu, juga malas membaca tulisan para seniman.
Lalu, kapan seniman-seniman Sleman bertemu ? Dengan pertemuan seperti itu, artinya suara seniman tidak tersingkir dari organisasi kesenian yang belum dapat menerjemahkan 10 kategori bahasa seni budaya di Kabupaten Sleman.
Hadiwardoyo (Pakem, Sleman).
Diketik ulang oleh
Bambang Haryanto, 5/11/2003
-------------------
PENYELAMAT BUDAYA JAWA
Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 11/1/1996
Penulis terkenal bahasa Jawa, Esmit, punya ramalan bahwa sastra Jawa tinggal 14 tahun lagi. Artinya, sastra Jawa akan mati tahun 2009. Kemudian akan disusul kematian majalah-majalah berbahasa Jawa. Ramalan tersebut ada baiknya kita perhatikan dan direnungkan. Semoga ramalan ini juga menggugah para pemikir budaya Jawa, bagaimana menolong kehidupannya.
Kematian sastra jawa sama halnya dengan kematian sastra gending ciptaan Sultan Agung. Konon, menurut pakar karawitan, Sultan Agung Mataram memberi wasiat yang antara lain, “ojo ngaku wong Metaram (jawa) yen during nyinau sastra gending”. Artinya, jangan coba mengaku menjadi orang Jawa (Mataram) kalau belum mempelajari sastra gending.
Karena di pedesaan tidak ada organisasi pengarang bahsa jawa, sebagai barometer kebudayaan Jawa sebetulnya dapat dicermati lewat organisasi- organisasi seni karawitan, seni pedalangan dan seni tari (di pedesaan). Bagi para pengamat seni budaya di pedesaan, mudah membaca mati hidupnya budaya Jawa.
Artinya, jika seni karawitan, seni pedalangan, seni tari dan ketoprak di pedesaan sirna, pertanda lonceng kematian budaya Jawa telah tiba. Yang dapat bertahan hanya organisasi-organisasi kesenian yang sudah punya gelar narasi agung yang dekat dengan birokrasi kekuasaan.
Siapa penyelamat budaya Jawa ?
Hadiwardoyo (Pakem, Sleman).
Diketik ulang oleh
Bambang Haryanto, 5/11/2003
--------------
Bapak HADIWARDOYO (Purworejo, Pakem, Sleman Yogyakarta), Epistoholik Indonesia mengucapkan terima kasih untuk kiriman surat dan atensi Anda. Selamat bergabung pula dalam keluarga Epistoholik Indonesia !
SURAT PERTAMA PAK HADIWARDOYO :
“Karena saya tertarik dengan tulisan (di kolom Bebas Bicara-Harian Bernas) yang diutarakan oleh Bambang Haryanto yang nongol di Harian Bernas (18/10/2003), maka bersama ini.. memohon informasi….Perlu kami haturkan bahwa mulai bulan September saya juga sudah punya buku pribadi tentang kliping koran tulisan saya sendiri, antara lain seperti terlampir”, demikian sebagian isi surat tulisan tangan dari Bapak Hadiwardoyo (27/10/2003).
Catatan Bambang Haryanto (pengelola situs Epistoholik Indonesia/E-mail : epsia@plasa.com/ Situs : http://epsia.blogspot.com) :
“Terima kasih, Bapak Hadiwardoyo. Contoh surat-surat pembaca yang Bapak lampirkan, sungguh menunjukkan kejelian, kepedulian, dan gairah yang tinggi dari Bapak Hadi dalam menyoroti aneka isu penting di masyarakat. Misalnya mengenai pentingnya keberadaan organisasi seni budaya di Sleman, keprihatinan Bapak tentang perkembangan budaya Jawa, sampai masalah kinerja anggota DPRD Sleman yang konon suka membolos.”
“Semuanya itu menunjukkan ketajaman dan kualitas tinggi sosok Bapak Hadiwardoyo sebagai seorang epistoholik Indonesia, dan pantas menjadi teladan kita-kita para epistoholik yunior.”